Sabtu, 08 November 2014

Konflik Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (Study kasus di Banyuwangi)



Konflik Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama 
(Study kasus di Banyuwangi)
Pendahuluan
Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Negara ini memiliki beranekaragam budaya, suku, agama, dan ras yang berbeda-beda. Dengan perbedaan ini Indonesia termasuk negara yang sangat menarik untuk dipelajari dari segi positif yang dihasilkan dari keberagaman ini. Tetapi perbedaan ini malah menjadikan konflik yang semakin menggelembung di negara ini.
Konflik internal bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (sara) merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling membahayakan dunia kususnya di indonesia. Menurut saya korban yang ditimbulkan dalam konflik ini lebih besar dari pada korban yang disebabkan oleh aksi terorisme.
Agama mengemban fungsi dan mempererat persaudaraan. Walaupun fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta konkrit dari zaman dahulu hingga sekarang. Namun disamping fakta yang positif juga terdapat fakta negatif. Yaitu perpecahan antar manusia yang kesemuanya bersumber pada agama. Kita sering mendengar beberapa konflik sosial yang bersumber dari agama. Seperti perbedaan doktrin dan sikap, perbedaan suku dan ras umat beragama, perbedaan tingkat kebudayaan dan masalah mayoritas dan minoritas pemeluk agama.
Kalau kita cermati bahwa akar konflik atau kekerasan yang ada di bangsa ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu, konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik horizontal adalah konflik antar sesama masyarakat. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara penguasa dan rakyat atau masyarakat.
Kedua akar konflik tersebut setidaknya bersumber dari banyak muara yakni masalah-masalah sosial yang melatarbelakanginya seperti ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik beragama dan etnis serta perbedaan pandangan politik.
Konflik horizontal dan vertikal saling memberikan amunisi. Ketika konflik horizontal terjadi, maka konflik vertikal memberikan api. Dan saat konflik horizontal terjadi, elit-elit memanfaatkannya dan demikian seterusnya. Konflik horizontal yang ada di indonesia sering disebabkan dan bernuansa SARA. Hal itu disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dan pluralis yang terdri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan.

Konflik Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) di Banyuwangi
Banyuwangi adalah salah satu kota yang buernuansa keagamaannya cukup kuat di Indonesia. Masyarakat banyuwangi menganut beberapa agama yang ada di indonesia, seperti Islam, Hindu, Kristen, Budha, Katolhik dll.
Dari kesekian ajaran agama ini sebetulnya tidak begitu terjadi konflik antar agama di Banyuwangi, tidak seperti yang terjadi di daerah lain seperti ambon dan lainya. Tetapi konflik terjadi justru pada perbedaan ajaran agam Islam itu sendiri. Di banyuwangi ada yang namanya NU dan Muhammadiyah. Kedua aliran atau organisasi berangkat dari ajaran agama Islam semua pada umumnya. Tetapi ada beberapa perbedaan secara praktek yang terjadi di masyarakat. Inilah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat dan menimbulkan konflik SARA secara sosial.
Sebetulnya perbedaan yang dibuat oleh kedua kubu tidak begitu signifikan. Seperti perbedaan saat melakukan sholat subuh jika NU memakai doa Qunut maka Muhammadiyah tidak menggunakannya. Jika NU melakukan Pujian maka Muhammadiyah tidak menggunakanya. Tapi perbedaan yang paling rentan menimbulkan konflik adalah mayoritas warga NU di sana melakukan budaya tahlilan yang dimaksudkan untuk mendoakan dari orang yang meninggal. Tapi bagi Muhammadiyah itu tidak seharusnya dilakukan bagi umat islam.
Inilah yang kemudian menjadikan konflik bernuansa SARA yang terjadi antara warga NU dan Muhammadiyah di daerah Banyuwangi. Kususnya terjadi dikalangan masyarakat kecil. Masyarakat NU berkeyakinan bahwa yang dilakukan adalah benar dan Muhammadiyah pun juga demikian dan seterusnya. Akhirnya akan terjadi konflik dimana kaum minoritas di daerah Banyuwangi secara langsung maupun tidak langsung merasa dikucilkan dilingkungan masyarakat daerahnya.
  
Solusi
konflik antar umat beragama memang sulit untuk segera diatasi, karena ini berkaitan dengan kepercayaan idiologinya masing-masing. Tapi sebetulnya konflik yang hanya menyangkut masalah perbedaan nilai penerapannya ini tidak seharusnya menjadi konflik yang meluas yang melibatkan masyarakat luas. Karena ini hanya akan membuat umat islam menjadi terbelah. Kita sebagai umat islam seharusnya memiki sifat saling toleransi dan saling menghargai pendapat masing-masing kubu selama itu tidak melenceng jauh dari apa yang agama islam ajarkan selama ini.
Jika ada perbedaan maka jangan jadikan itu semua sebagai hal yang negatif, tetapi jadikan perbedaan itu sebagai kekayaan ilmu yang dimiliki agama islam. Dan masyarakat seharusnya saling mendukung satu sama lainnya. Jika itu semua dapat dilakukan maka akan terwujudlah masyarakat islam yang harmonis yang mempunyai sifat saling menghargai antara umat beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar