Asal-usul Petik Laut Pancer
Samudera
Indonesia menjadi ladang penghidupan bagi semua masyarakat di negara ini.
Kususnya Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai. Salah satu kota di Indonesia yang mayoritas
masyarakatnya mencari nafkah sebagai nelayan adalah kota Banyuwangi. Seperti
Muncar, Pulau Merah, Puger, Pancer dll.
Dari
sekian daerah pesisir di daerah Banyuwangi terdapat salah satu desa yang sangat
terkenal dengan hasil lautnya, yaitu desa Pancer. Wilayah Pancer sendiri
merupakan pelabuhan laut yang berfungsi sebagai pangkalan dari para nelayan
dengan bukti keberadaan salah satu tempat penampungan ikan (TPI) yang cukup
besar di Jawa Timur.
Desa
Pancer yang sebagian besar masyarakatnya sebagai nelayan sangat terjamin dengan
penghasilan yang mereka dapatkan dari hasil kekayaan lautnya. Tetapi
keberhasilan itu tidak mudah mereka dapatkan seperti yang dibayangan masyarakat
pada umumnya. Para nelayan harus berangkat pagi pulang sore bahkan harus
tinggal dilaut selama beberapa hari jika hasil tangkapan kurang dari cukup
untuk dibawa pulang. Tentunya juga, jika cuaca dan kondisi ombak bersahabat. Dalam
perjalanan sejarahnya, desa Pancer memiliki fakta-fakta dan nilai-nilai
historis yang mendorong perkembangan pada umumnya.
Pada
zaman dahulu desa Pancer adalah salah satu desa dengan tingkat penghasilan yang
paling rendah di Banyuwangi. Dengan sumber daya alam yang hanya satu-satunya di
desa Pancer yaitu hasil laut.
Setiap
pagi para penduduk desa Pancer yang kususnya laki-laki selalu memulai aktivitasnya
dengan mencari ikan di laut. Sementara para perempuan dan ibu-ibu hanya sebagai
pengangguran dan ibu rumah tangga. Setiap sore ibu-ibu rumah tangga dan
anak-anak selalu berdatangan pergi ke pantai untuk menunggu kepulangan para
suaminya dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang banyak dan bisa dijual di
TPI atau pasar.
Tetapi
harapan dan angan-angan itu selalu tidak seperti yang dipikirkan para ibu rumah
tangga. Setiap hari perasaan gelisah, resah, kawatir, dan sedih selalu terjadi
disetiap kepulangan para suami dari melaut. Hasil tangkapan ikanpun tidak
banyak. Jangankan untuk dijual dipasar, untuk lauk makan keluarga pun rasanya
sangat jauh dari kata cukup. Padahal para warga yang melaut selalu berangkat
dengan sangat pagi sampai sore menjelang magrib. Bahkan ada yang tidak pulang
lebih dari satu minggu. Tetapi hasilnya pun sama nihil dengan lainya.
Melihat
permasalahan ini salah satu warga yang sudah tua renta bernama Mbah Sutijo bercerita
kepada semua warga desa pancer, bahwa dia pernah bermimpi yang aneh menurut
dirinya. Dalam mimpinya dia bercerita bahwa beliau dihampiri oleh beberapa
orang yang menggunakan kuda, berpakaian seperti zaman kerajaan dan terdengar
alunan musik jawa.
Yang
membuat Mbah Sutijo sedikit ketakutan adalah sosok seorang wanita berparas cantik
yang menggunakan pakaian seperti putri kerajaan dan menaiki kereta kuda yang
dihiasi emas yang sangat menakjubkan. Dengan disekililingi dayang-dayang
perempuan yang tidak kalah cantiknya juga. Tetapi sorotan mata yang tajam
kearahnya membuat Mbah Sutijo merasa sangat ketakutan.
Dalam
mimpinya segerombolan rombongan permaisuri/ratu meminta sesaji atau persembahan
setiap menjelang suro agar masyarakat desa pancer yang melaut bisa selamat dan
mendapatkan ikan yang banyak. Dan persembahan itu untuk dibuang ke laut.
Mendengar
crita ini salah satu tokoh masyarakat yang sekaligus sebagai pemimpin desa Pancer
ini tidak percaya dengan cerita yang dibuat salah satu warganya tersebut.
Melihat pemimpin desanya tidak percaya maka secara otomatis mayoritas
masyarakatpun mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpinya/tokoh masyarakat
desa.
Karena
tidak ada warga yang percaya terhadap ceritanya maka Mbah Sutijo kembali
memulai aktivitasnya sebagai warga. Tetapi semenjak kejadian itu Mbah Sutijo
tidak berani untuk pergi maupun mendekati pantai.
Keesokan
harinya petakapun datang. Pada hari itu badai sangat tidak bersahabat jika para
nelayan berangkat melaut. Tetapi beberapa nelayan tidak menggubris hal itu dan
tetap berangkat untuk melaut. Setelah sampai ditengah laut petakapun
menghampiri mereka, gemuruh ombak yang besar menggulingkan dan menghancurkan
semua sampan/kapal sekaligus isi-isinya.
Kejadian
ini akhirnya membuat masyarakat desa Pancer mempercayai apa yang ada dalam
mimpi Mbah Sutijo. Tidak mau melihat warganya terjebak dalam kesengsaraan ini
akhirnya para tokoh masyarakat meminta pendapat kepada Mbah Sutijo tentang apa
yang harus dilakukan agar masalah yang menimpa desa ini cepat terselesaikan.
Mbah
Sutijo sebetulnya adalah para normal yang mempunyai kemampuan spiritual yang
tinggi pada masa mudanya. Tetapi hanya sedikit dari banyak warga yang
mengetahui latar belakang kehidupan Mbah Sutijo.
Mbah
sutijo dalam suatu waktu tatkala melakukan tirakan mendapat wisik agar
melakukan “Sedekah Pancer”. Tujuan diadakan “Sedekah Pancer” ini adalah untuk
memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan warga desa
Pancer, terutama bagi nelayan yang melaut untuk menangkap ikan di Segoro Kidul.
Pasca
Mbah Sutijo melakukan apa yang di minta seperti dalam mimpinya, kehidupan
perekenomian masyarakat desa Pancer melonjak drastis dari sebelumnya. Hasil
tangkapan para nelayan setiap harinya sangat memuaskan dan bisa untuk membangun
beberapa fasilitas yang dibutuhkan desa Pancer. Akhirnya kegiatan ini selalu
dikenang dan dilestarikan oleh masyarakat setiap tahunnya yang dinamakan
Sedekah Pancer atau Larung Sesaji dengan Perayaan acara Petik Laut.
Tradisi
dan budaya yang berkembang di Pancer tidak dapat dilepaskan dari kondisi alam
yang didominasi lautan luas Samudera Indonesia. Tradisi dan budaya nelayan menjadi
dominan dalam masyarakat Pancer.
Petik
Laut atau ada yang menyebut dengan Larung Sesaji, salah satu tradisi tahunan
yang ada di Pancer, merupakan bentuk pengaruh kondisi alam yang didominasi oleh
Lautan. Petik Laut dapat dilihat sebagai interaksi kehidupan manusia dengan
alam semesta yang menyediakan berbagai sumber kehidupan baik itu ikan-ikannya
maupun sumber daya alam lainnya.
Ketokohan
mbah Sutijo dan kepercayaan masyarakat Pancer bahwa mbah Sutijo merupakan orang
linuwih (yang mempunyai kemampuan supranatural lebih dibandingkan lainnya) maka
Sedekah Pancer dilakukan setiap menjelang suro atau satu tahun sekali dengan
perayaan acara Petik Laut. Sedekah Pancer dilakukan dengan melarung sesaji ke
laut sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Pancer karena karunia dari Sang
Khalik telah diberi sumber daya alam yang kaya.
Sedekah
Pancer menjadi acara tahunan setiap menjelan Bulan Suro atau Muharam. Sedekah
Pancer ini kemudian menjadi dasar acara Petik Laut yang dilakukan pemerintah desa
Pancer yang difasilitasi oleh pemerintah Banyuwangi setiap tahunanya dan
menjadi tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat desa Pancer sampai sekarang.
Sekian
cerita rakyat yang dapat penulis sampaikan. Ini hanya cerita rakyat setempat
yang belum pasti kebenarannya. Karena kebenaran yang sesungguhnya hanya tuhan
lah yang maha mengetahui. Tidak lupa penulis mengucapkan maaf yang
sebesar-besarnya jika dalam cerita ini terdapat
perbedaan dengan cerita yang masyarakat dapatkan dari sumber lain. Penulis
harapkan kedepannya tidak ada perdebatan yang besar dalam cerita yang telah
dibuat. Sekian dari penulis dan diakhiri dengan ucapan terimaksih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar