Konflik Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama
(Study kasus di Banyuwangi)
Pendahuluan
Indonesia
adalah bangsa yang multikultural. Negara ini memiliki beranekaragam budaya,
suku, agama, dan ras yang berbeda-beda. Dengan perbedaan ini Indonesia termasuk
negara yang sangat menarik untuk dipelajari dari segi positif yang dihasilkan
dari keberagaman ini. Tetapi perbedaan ini malah menjadikan konflik yang
semakin menggelembung di negara ini.
Konflik
internal bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (sara) merupakan salah
satu bentuk kekerasan yang paling membahayakan dunia kususnya di indonesia.
Menurut saya korban yang ditimbulkan dalam konflik ini lebih besar dari pada
korban yang disebabkan oleh aksi terorisme.
Agama mengemban fungsi dan mempererat persaudaraan. Walaupun
fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta konkrit dari zaman dahulu hingga
sekarang. Namun disamping fakta yang positif juga terdapat fakta negatif. Yaitu
perpecahan antar manusia yang kesemuanya bersumber pada agama. Kita sering
mendengar beberapa konflik sosial yang bersumber dari agama. Seperti perbedaan
doktrin dan sikap, perbedaan suku dan ras umat beragama, perbedaan tingkat
kebudayaan dan masalah mayoritas dan minoritas pemeluk agama.
Kalau
kita cermati bahwa akar konflik atau kekerasan yang ada di bangsa ini dapat
dibedakan menjadi dua yaitu, konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik
horizontal adalah konflik antar sesama masyarakat. Sedangkan konflik vertikal
adalah konflik antara penguasa dan rakyat atau masyarakat.
Kedua
akar konflik tersebut setidaknya bersumber dari banyak muara yakni
masalah-masalah sosial yang melatarbelakanginya seperti ketidakadilan,
kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik beragama dan etnis serta perbedaan
pandangan politik.
Konflik
horizontal dan vertikal saling memberikan amunisi. Ketika konflik horizontal
terjadi, maka konflik vertikal memberikan api. Dan saat konflik horizontal
terjadi, elit-elit memanfaatkannya dan demikian seterusnya. Konflik horizontal
yang ada di indonesia sering disebabkan dan bernuansa SARA. Hal itu disebabkan
oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dan pluralis yang terdri dari
berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan.
Konflik Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) di Banyuwangi
Banyuwangi
adalah salah satu kota yang buernuansa keagamaannya cukup kuat di Indonesia.
Masyarakat banyuwangi menganut beberapa agama yang ada di indonesia, seperti
Islam, Hindu, Kristen, Budha, Katolhik dll.
Dari
kesekian ajaran agama ini sebetulnya tidak begitu terjadi konflik antar agama
di Banyuwangi, tidak seperti yang terjadi di daerah lain seperti ambon dan
lainya. Tetapi konflik terjadi justru pada perbedaan ajaran agam Islam itu
sendiri. Di banyuwangi ada yang namanya NU dan Muhammadiyah. Kedua aliran atau
organisasi berangkat dari ajaran agama Islam semua pada umumnya. Tetapi ada
beberapa perbedaan secara praktek yang terjadi di masyarakat. Inilah yang
kemudian diadopsi oleh masyarakat dan menimbulkan konflik SARA secara sosial.
Sebetulnya
perbedaan yang dibuat oleh kedua kubu tidak begitu signifikan. Seperti
perbedaan saat melakukan sholat subuh jika NU memakai doa Qunut maka
Muhammadiyah tidak menggunakannya. Jika NU melakukan Pujian maka Muhammadiyah
tidak menggunakanya. Tapi perbedaan yang paling rentan menimbulkan konflik
adalah mayoritas warga NU di sana melakukan budaya tahlilan yang dimaksudkan
untuk mendoakan dari orang yang meninggal. Tapi bagi Muhammadiyah itu tidak
seharusnya dilakukan bagi umat islam.
Inilah
yang kemudian menjadikan konflik bernuansa SARA yang terjadi antara warga NU
dan Muhammadiyah di daerah Banyuwangi. Kususnya terjadi dikalangan masyarakat
kecil. Masyarakat NU berkeyakinan bahwa yang dilakukan adalah benar dan
Muhammadiyah pun juga demikian dan seterusnya. Akhirnya akan terjadi konflik
dimana kaum minoritas di daerah Banyuwangi secara langsung maupun tidak
langsung merasa dikucilkan dilingkungan masyarakat daerahnya.
Solusi
konflik
antar umat beragama memang sulit untuk segera diatasi, karena ini berkaitan
dengan kepercayaan idiologinya masing-masing. Tapi sebetulnya konflik yang
hanya menyangkut masalah perbedaan nilai penerapannya ini tidak seharusnya
menjadi konflik yang meluas yang melibatkan masyarakat luas. Karena ini hanya
akan membuat umat islam menjadi terbelah. Kita sebagai umat islam seharusnya
memiki sifat saling toleransi dan saling menghargai pendapat masing-masing kubu
selama itu tidak melenceng jauh dari apa yang agama islam ajarkan selama ini.
Jika
ada perbedaan maka jangan jadikan itu semua sebagai hal yang negatif, tetapi
jadikan perbedaan itu sebagai kekayaan ilmu yang dimiliki agama islam. Dan
masyarakat seharusnya saling mendukung satu sama lainnya. Jika itu semua dapat
dilakukan maka akan terwujudlah masyarakat islam yang harmonis yang mempunyai
sifat saling menghargai antara umat beragama.