Sabtu, 08 November 2014

Konflik Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (Study kasus di Banyuwangi)



Konflik Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama 
(Study kasus di Banyuwangi)
Pendahuluan
Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Negara ini memiliki beranekaragam budaya, suku, agama, dan ras yang berbeda-beda. Dengan perbedaan ini Indonesia termasuk negara yang sangat menarik untuk dipelajari dari segi positif yang dihasilkan dari keberagaman ini. Tetapi perbedaan ini malah menjadikan konflik yang semakin menggelembung di negara ini.
Konflik internal bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (sara) merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling membahayakan dunia kususnya di indonesia. Menurut saya korban yang ditimbulkan dalam konflik ini lebih besar dari pada korban yang disebabkan oleh aksi terorisme.
Agama mengemban fungsi dan mempererat persaudaraan. Walaupun fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta konkrit dari zaman dahulu hingga sekarang. Namun disamping fakta yang positif juga terdapat fakta negatif. Yaitu perpecahan antar manusia yang kesemuanya bersumber pada agama. Kita sering mendengar beberapa konflik sosial yang bersumber dari agama. Seperti perbedaan doktrin dan sikap, perbedaan suku dan ras umat beragama, perbedaan tingkat kebudayaan dan masalah mayoritas dan minoritas pemeluk agama.
Kalau kita cermati bahwa akar konflik atau kekerasan yang ada di bangsa ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu, konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik horizontal adalah konflik antar sesama masyarakat. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara penguasa dan rakyat atau masyarakat.
Kedua akar konflik tersebut setidaknya bersumber dari banyak muara yakni masalah-masalah sosial yang melatarbelakanginya seperti ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik beragama dan etnis serta perbedaan pandangan politik.
Konflik horizontal dan vertikal saling memberikan amunisi. Ketika konflik horizontal terjadi, maka konflik vertikal memberikan api. Dan saat konflik horizontal terjadi, elit-elit memanfaatkannya dan demikian seterusnya. Konflik horizontal yang ada di indonesia sering disebabkan dan bernuansa SARA. Hal itu disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dan pluralis yang terdri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan.

Konflik Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) di Banyuwangi
Banyuwangi adalah salah satu kota yang buernuansa keagamaannya cukup kuat di Indonesia. Masyarakat banyuwangi menganut beberapa agama yang ada di indonesia, seperti Islam, Hindu, Kristen, Budha, Katolhik dll.
Dari kesekian ajaran agama ini sebetulnya tidak begitu terjadi konflik antar agama di Banyuwangi, tidak seperti yang terjadi di daerah lain seperti ambon dan lainya. Tetapi konflik terjadi justru pada perbedaan ajaran agam Islam itu sendiri. Di banyuwangi ada yang namanya NU dan Muhammadiyah. Kedua aliran atau organisasi berangkat dari ajaran agama Islam semua pada umumnya. Tetapi ada beberapa perbedaan secara praktek yang terjadi di masyarakat. Inilah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat dan menimbulkan konflik SARA secara sosial.
Sebetulnya perbedaan yang dibuat oleh kedua kubu tidak begitu signifikan. Seperti perbedaan saat melakukan sholat subuh jika NU memakai doa Qunut maka Muhammadiyah tidak menggunakannya. Jika NU melakukan Pujian maka Muhammadiyah tidak menggunakanya. Tapi perbedaan yang paling rentan menimbulkan konflik adalah mayoritas warga NU di sana melakukan budaya tahlilan yang dimaksudkan untuk mendoakan dari orang yang meninggal. Tapi bagi Muhammadiyah itu tidak seharusnya dilakukan bagi umat islam.
Inilah yang kemudian menjadikan konflik bernuansa SARA yang terjadi antara warga NU dan Muhammadiyah di daerah Banyuwangi. Kususnya terjadi dikalangan masyarakat kecil. Masyarakat NU berkeyakinan bahwa yang dilakukan adalah benar dan Muhammadiyah pun juga demikian dan seterusnya. Akhirnya akan terjadi konflik dimana kaum minoritas di daerah Banyuwangi secara langsung maupun tidak langsung merasa dikucilkan dilingkungan masyarakat daerahnya.
  
Solusi
konflik antar umat beragama memang sulit untuk segera diatasi, karena ini berkaitan dengan kepercayaan idiologinya masing-masing. Tapi sebetulnya konflik yang hanya menyangkut masalah perbedaan nilai penerapannya ini tidak seharusnya menjadi konflik yang meluas yang melibatkan masyarakat luas. Karena ini hanya akan membuat umat islam menjadi terbelah. Kita sebagai umat islam seharusnya memiki sifat saling toleransi dan saling menghargai pendapat masing-masing kubu selama itu tidak melenceng jauh dari apa yang agama islam ajarkan selama ini.
Jika ada perbedaan maka jangan jadikan itu semua sebagai hal yang negatif, tetapi jadikan perbedaan itu sebagai kekayaan ilmu yang dimiliki agama islam. Dan masyarakat seharusnya saling mendukung satu sama lainnya. Jika itu semua dapat dilakukan maka akan terwujudlah masyarakat islam yang harmonis yang mempunyai sifat saling menghargai antara umat beragama.

Asal-usul Petik Laut Pancer







Asal-usul Petik Laut Pancer
Samudera Indonesia menjadi ladang penghidupan bagi semua masyarakat di negara ini. Kususnya Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai.  Salah satu kota di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya mencari nafkah sebagai nelayan adalah kota Banyuwangi. Seperti Muncar, Pulau Merah, Puger, Pancer dll.
Dari sekian daerah pesisir di daerah Banyuwangi terdapat salah satu desa yang sangat terkenal dengan hasil lautnya, yaitu desa Pancer. Wilayah Pancer sendiri merupakan pelabuhan laut yang berfungsi sebagai pangkalan dari para nelayan dengan bukti keberadaan salah satu tempat penampungan ikan (TPI) yang cukup besar di Jawa Timur.
Desa Pancer yang sebagian besar masyarakatnya sebagai nelayan sangat terjamin dengan penghasilan yang mereka dapatkan dari hasil kekayaan lautnya. Tetapi keberhasilan itu tidak mudah mereka dapatkan seperti yang dibayangan masyarakat pada umumnya. Para nelayan harus berangkat pagi pulang sore bahkan harus tinggal dilaut selama beberapa hari jika hasil tangkapan kurang dari cukup untuk dibawa pulang. Tentunya juga, jika cuaca dan kondisi ombak bersahabat. Dalam perjalanan sejarahnya, desa Pancer memiliki fakta-fakta dan nilai-nilai historis yang mendorong perkembangan pada umumnya.
Pada zaman dahulu desa Pancer adalah salah satu desa dengan tingkat penghasilan yang paling rendah di Banyuwangi. Dengan sumber daya alam yang hanya satu-satunya di desa Pancer yaitu hasil laut.
Setiap pagi para penduduk desa Pancer yang kususnya laki-laki selalu memulai aktivitasnya dengan mencari ikan di laut. Sementara para perempuan dan ibu-ibu hanya sebagai pengangguran dan ibu rumah tangga. Setiap sore ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak selalu berdatangan pergi ke pantai untuk menunggu kepulangan para suaminya dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang banyak dan bisa dijual di TPI atau pasar.
Tetapi harapan dan angan-angan itu selalu tidak seperti yang dipikirkan para ibu rumah tangga. Setiap hari perasaan gelisah, resah, kawatir, dan sedih selalu terjadi disetiap kepulangan para suami dari melaut. Hasil tangkapan ikanpun tidak banyak. Jangankan untuk dijual dipasar, untuk lauk makan keluarga pun rasanya sangat jauh dari kata cukup. Padahal para warga yang melaut selalu berangkat dengan sangat pagi sampai sore menjelang magrib. Bahkan ada yang tidak pulang lebih dari satu minggu. Tetapi hasilnya pun sama nihil dengan lainya.
Melihat permasalahan ini salah satu warga yang sudah tua renta bernama Mbah Sutijo bercerita kepada semua warga desa pancer, bahwa dia pernah bermimpi yang aneh menurut dirinya. Dalam mimpinya dia bercerita bahwa beliau dihampiri oleh beberapa orang yang menggunakan kuda, berpakaian seperti zaman kerajaan dan terdengar alunan musik jawa.
Yang membuat Mbah Sutijo sedikit ketakutan adalah sosok seorang wanita berparas cantik yang menggunakan pakaian seperti putri kerajaan dan menaiki kereta kuda yang dihiasi emas yang sangat menakjubkan. Dengan disekililingi dayang-dayang perempuan yang tidak kalah cantiknya juga. Tetapi sorotan mata yang tajam kearahnya membuat Mbah Sutijo merasa sangat ketakutan.
Dalam mimpinya segerombolan rombongan permaisuri/ratu meminta sesaji atau persembahan setiap menjelang suro agar masyarakat desa pancer yang melaut bisa selamat dan mendapatkan ikan yang banyak. Dan persembahan itu untuk dibuang ke laut.
Mendengar crita ini salah satu tokoh masyarakat yang sekaligus sebagai pemimpin desa Pancer ini tidak percaya dengan cerita yang dibuat salah satu warganya tersebut. Melihat pemimpin desanya tidak percaya maka secara otomatis mayoritas masyarakatpun mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpinya/tokoh masyarakat desa.
Karena tidak ada warga yang percaya terhadap ceritanya maka Mbah Sutijo kembali memulai aktivitasnya sebagai warga. Tetapi semenjak kejadian itu Mbah Sutijo tidak berani untuk pergi maupun mendekati pantai.
Keesokan harinya petakapun datang. Pada hari itu badai sangat tidak bersahabat jika para nelayan berangkat melaut. Tetapi beberapa nelayan tidak menggubris hal itu dan tetap berangkat untuk melaut. Setelah sampai ditengah laut petakapun menghampiri mereka, gemuruh ombak yang besar menggulingkan dan menghancurkan semua sampan/kapal sekaligus isi-isinya.
Kejadian ini akhirnya membuat masyarakat desa Pancer mempercayai apa yang ada dalam mimpi Mbah Sutijo. Tidak mau melihat warganya terjebak dalam kesengsaraan ini akhirnya para tokoh masyarakat meminta pendapat kepada Mbah Sutijo tentang apa yang harus dilakukan agar masalah yang menimpa desa ini cepat terselesaikan.
Mbah Sutijo sebetulnya adalah para normal yang mempunyai kemampuan spiritual yang tinggi pada masa mudanya. Tetapi hanya sedikit dari banyak warga yang mengetahui latar belakang kehidupan Mbah Sutijo.
Mbah sutijo dalam suatu waktu tatkala melakukan tirakan mendapat wisik agar melakukan “Sedekah Pancer”. Tujuan diadakan “Sedekah Pancer” ini adalah untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan warga desa Pancer, terutama bagi nelayan yang melaut untuk menangkap ikan di Segoro Kidul.
Pasca Mbah Sutijo melakukan apa yang di minta seperti dalam mimpinya, kehidupan perekenomian masyarakat desa Pancer melonjak drastis dari sebelumnya. Hasil tangkapan para nelayan setiap harinya sangat memuaskan dan bisa untuk membangun beberapa fasilitas yang dibutuhkan desa Pancer. Akhirnya kegiatan ini selalu dikenang dan dilestarikan oleh masyarakat setiap tahunnya yang dinamakan Sedekah Pancer atau Larung Sesaji dengan Perayaan acara Petik Laut.
Tradisi dan budaya yang berkembang di Pancer tidak dapat dilepaskan dari kondisi alam yang didominasi lautan luas Samudera Indonesia. Tradisi dan budaya nelayan menjadi dominan dalam masyarakat Pancer.
Petik Laut atau ada yang menyebut dengan Larung Sesaji, salah satu tradisi tahunan yang ada di Pancer, merupakan bentuk pengaruh kondisi alam yang didominasi oleh Lautan. Petik Laut dapat dilihat sebagai interaksi kehidupan manusia dengan alam semesta yang menyediakan berbagai sumber kehidupan baik itu ikan-ikannya maupun sumber daya alam lainnya.
Ketokohan mbah Sutijo dan kepercayaan masyarakat Pancer bahwa mbah Sutijo merupakan orang linuwih (yang mempunyai kemampuan supranatural lebih dibandingkan lainnya) maka Sedekah Pancer dilakukan setiap menjelang suro atau satu tahun sekali dengan perayaan acara Petik Laut. Sedekah Pancer dilakukan dengan melarung sesaji ke laut sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Pancer karena karunia dari Sang Khalik telah diberi sumber daya alam yang kaya.
Sedekah Pancer menjadi acara tahunan setiap menjelan Bulan Suro atau Muharam. Sedekah Pancer ini kemudian menjadi dasar acara Petik Laut yang dilakukan pemerintah desa Pancer yang difasilitasi oleh pemerintah Banyuwangi setiap tahunanya dan menjadi tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat desa Pancer sampai sekarang.
Sekian cerita rakyat yang dapat penulis sampaikan. Ini hanya cerita rakyat setempat yang belum pasti kebenarannya. Karena kebenaran yang sesungguhnya hanya tuhan lah yang maha mengetahui. Tidak lupa penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya  jika dalam cerita ini terdapat perbedaan dengan cerita yang masyarakat dapatkan dari sumber lain. Penulis harapkan kedepannya tidak ada perdebatan yang besar dalam cerita yang telah dibuat. Sekian dari penulis dan diakhiri dengan ucapan terimaksih.

Asal Usul Pantai Wedi Ireng







 
Asal Usul Pantai Wedi Ireng
Indonesia adalah negara yang mempunyai beberapa wisata yang sangat indah nan mempesona. Sebagaian wisata yang dapat mengangkat nama Indonesia ke kancah Internasional adalah wisata Laut atau Pantai. Yang paling terkenal adalah Pantai-Pantai yang ada di Bali. Tetapi baru-baru ini ada wisata Pantai yang mengundang mata dunia yaitu Pantai Pulau Merah. Itulah sekilas beberapa wisata Pantai yang saat ini lagi menyita mata wisatawan asing yang berdatangan ke Indonesia.
Dibalik nama besar beberapa wisata Pantai tersebut terdapat salah satu Pantai yang mungkin sangat berbeda dengan yang lainnya, yaitu Pantai Wedi Ireng. Pantai Wedi Ireng terletak di kota Banyuwangi. Tepatnya di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Pantai ini terletak setelah Pantai Pulau Merah dan Pantai Mustika Pancer.
Mungkin sebagian orang tidak mengetahui keberadaan Pantai Wedi Ireng secara pastinya. Itu karena letaknya yang berdekatan dengan Pantai Mustika Pancer yang lebih dikenal oleh beberapa orang pada umumnya. Wisata ini dikatakan berbeda karena tempatnya yang tersembunyi membuat Pantai Wedi Ireng masih terjaga keasrian alamnya dan udara disanapun sangat sejuk. Itu semua disebabkan karena Pantai ini jarang terjamah oleh wisatawan asing maupun lokal. Bahkan masyarakat yang yang tinggal paling dekat dengan Pantai tersebut juga jarang berdatangan kesana. Mungkin hanya beberapa nelayan saja yang sering melintasi Pantai Wedi Ireng saat para nelayan mencari ikan disekitar pantai tersebut.
Pantai Wedi Ireng dikatakan menarik bukan hanya karena keasrian alam dan jarangnya terjamah oleh manusia, melainkan juga warna pasir yang berbeda dengan warna pasir di beberapa pantai pada umumnya. Pasir di Pantai Wedi Ireng berwarna hitam terang seperti namanya “Wedi Ireng dalam bahasa Jawa” yang dapat menambah keindahan Pantai ini. Karena saat matahari menyinari pasir maka akan memantulkan cahaya ke lautan seperti cahaya yang memantul saat terkena cermin.
Sekilas menarik jika kita mendengar cerita tentang keindahan Pantai Wedi Ireng. Tetapi dibalik keindahan tersebut ada History atau cerita rakyat tentang asal mula terbentuknya Pantai Wedi Ireng.
Pantai Wedi Ireng awalnya adalah Pantai Biasa dengan warna pasir yang sama dengan beberapa Pantai di Banyuwangi yaitu berwarna putih. Pantai Wedi Ireng dulunya menjadi kesatuan dan tergabung dengan Pantai Mustika Pancer. Dengan artian Pantai Wedi Ireng dulunya bisa disebut juga sebagai wilayah Pantai Mustika Pancer. Pantai Wedi Ireng adalah pecahan dari Pantai Mustika Pancer. Cerita rakyat yang berhembus adalah pada dahulu kala ada sepasang anak muda yang sangat setia dengan hewan yang selalu bersamanya. Mereka bernama Hasan dan Mustofa, dan hewan tersebut bernama Asih alias “Kucing betina berwarna Hitam”.
Awal pertemuan mereka dengan si kucing adalah pada saat kedua pemuda tersebut (Hasan & Mustofa) mencari kayu bakar di daerah Pantai Wedi Ireng. Karena letak Pantai ini harus menyebrangi laut, maka mereka selalu membawa bekal saat mencari kayu bakar. Karena, jika pulang menjelang sore air laut sudah naik dan para pencari kayupun terpaksa harus menginap di Pantai Wedi Ireng.
Ketika tiba ditempat Hasan & Mustofa langsung menebangi kayu-kayu kecil di dekat pesisis Pantai tersebut. Pada saat mereka asik menebang pohon-pohon kecil terkejutlah mereka saat mendengar teriakan kucing yang menjerit kesakitan atau dalam bahasa manusia mungkin si kucing berteriak minta tolong. Kucing itu terjepit diantara batu karang yang tajam di pinggir Pantai Wedi Ireng. Mendengar suara tersebut Hasan & Mustofa segera bergegas berlarian untuk menolong kucing malang tersebut.
Akhirnya dengan bergegasnya Hasan & Muftofa menolong kucing malang tersebut maka hewan kecil itu bisa lepas dari jeratan batu karang. Pasca kejadian tersebut si kucing selalu mengikuti Hasan & Mustofa berjalan. Bahkan kucing tersebut dengan setia menunggu Hasan & Mustofa mencari kayu dan menebang pohon-pohon kecil di sana. Melihat perilaku kucing hitam ini Hasan & Mustofa merasa senang dan mereka merasa mempunyai teman lagi selain mereka berdua.
Setelah hasil mencari kayu bakar sudah cukup banyak maka Hasan & Mustofa memutuskan untuk pulang karena melihat hari sudah hampir menjelang sore. Dengan langkah yang santai sambil bergurau Hasan & Mustofa selalu terkadang memperhatikan si kucing hitam yang polos tersebut. Setiba dipersebrangan Hasan & Mustofa berhenti sejenak untuk menghilangkan rasa capek dan lelah selama mengangkat kayu bakar.
Sambil beristirahat Hasan & Mustofa bermain dengan kucing tersebut. Mereka berdua membersihkan kotoran atau kutu-kutu yang hinggap di bulu halus si kucing. Gara-gara membersihkan kotoran di bulu kucing itu Hasan & Mustofa baru mengetahui bahwa kucing hitam lucu itu adalah seekor kucing betina. Merekapun berkata bahwa untung saja ini kucing, kalau manusia mungkin kita bisa bertengkar memperebutkanya. Dengan nada bercanda merekapun tertawa terbahak-bahak atas ucapan yang mereka lontarkan, dan akhirnya kucing itu diberi nama Asih. Setelah rasa capek hilang akhirnya Hasan & Mustofa pun melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Mereka berdua tinggal bersebelahan. Setiba dirumah Hasan & Mustofa menaruh kucing itu di sebuah kandang kecil di samping rumah.
Keesokan harinya Hasan & Mustofa kembali bergegas untuk mencari tambahan kayu bakar untuk beberapa hari. Maka dari itu mereka membawa bekal yang banyak dan sekiranya cukup untuk dibuat selama semalam dalam mencari kayu bakar. Mereka berduapun berjalan dengan rasa yang bahagia karena diperjalanan mereka juga ditemani oleh Asih (kucing hitam). Setiba di tempat Hasan & Mustofa langsung bergegas dengan cepat untuk menebang pohon-pohon kecil dan mengumpulkan kayu-kayu yang berserakan. Dengan tidak lupa mereke berdua juga memperhatikan si kucing yang senantiasa menunggunya.
Melihat Hasan & Mustofa yang dengan susah payah mencari kayu akhirnya keanehanpun ditunjukan oleh si kucing. Kucing itu berbicara dengan suara manusia. Asih berkata “sudahlah kalian berdua duduk saja, biar saya yang mendatangkan kayu dengan sendirinya. Asihpun menunjukan wujud yang sebenarnya kepada Hasan & Mustofa bahwa Asih adalah seorang penunggu di daerah Pantai itu. Dia menyamar sebagai kucing yang kesakitan agar Hasan & Mustofa tidak terus-terusan mengambil kayu di daerah itu karena dia (kucing) tidak suka jika apapun yang ada disekitar pantai terpencil itu diambil oleh manusia.
Mengetahui hal tersebut Hasan & Mustofa merasa agak ketakutan melihat sosok perubahan yang dilihatnya. Kucing itu berubah menjadi seorang wanita cantik yang tanpa Hasan & Mustofa sadari dia adalah seorang mahluk penunggu Pantai tersebut. Melihat Hasan & Mustofa merasa ketakutan akhirnya perempuan cantik (kucing hitam) itu mengatakan bahwa dia tidak akan menyakiti Hasan & Mustofa. Tapi wanita itu meminta agar mereka berdua segera pulang dan tidak kembali lagi mengambil kayu atau apapun yang ada disekitar Pantai.
Mendengar ucapan wanita cantik itu Hasan & Mustofa bukan langsung bergegas pulang tetapi mereka berdua secara bersamaan bilang kepada wanita cantik itu bahwa mereka menyukainya. Mendengar ucapan mereka (Hasan & Mustofa) kucing yang berubah menjadi wanita cantik itupun menolak untuk dicintai mereka. Wanita cantik itu beralasan bahwa kita berasal dari alam yang berbeda dan tidak mungkin bisa bersama.
Mendengar ucapan tersebut Hasan & Mustofa merasa kecewa. Pasca kejadian itu Hasan & Mustofa bukan langsung bergegas pulang. Tetapi mereka malah berjalan bersamaan menuju sebuah tebing diatas pantai yang dibawahnya adalah karang-karang bebatuan yang tajam. Hasan & Mustofa bermaksud untuk membuktikan cinta mereka kepada kucing hitam yang menjadi wanita cantik itu bahwa jika dengan mereka berdua hidup tidak bisa bersama kucing itu lagi maka mereka akan mengakhiri hidupnya agar berada di alam yang sama dengan Kucing yang menjadi wanita cantik tersebut. Hasan & Mustofa akhirnya terjun bebas dan mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis. Melihat aksi nekat yang dilakukan Hasan & Mustofa, Asih nama kucing hitam yang menjelma menjadi wanita cantik itupun merasa sangat menyesal dan bersalah akibat kejujuran yang dia perlihatkan kepada Hasan & Mustofa.
Akhirnya wanita cantik itu (kucing hitam) menggali kuburan di pesisir pantai untuk menguburkan mayat Hasan & Mustofa agar tidak hayut dibawa ombak laut yang tinggi. Karena merasa sangat bersalah dan menyesal atas perbuatannya maka wanita cantik itupun membuat pasir pantai tersebut berwarna hitam agar kelihatan sebagai pantai yang kotor dan tidak akan dijamah oleh manusia lagi. Karena dia (kucing hitam) tidak mau jika dikemudian hari jatuh korban lagi seperti yang dialami Hasan & Mustofa, dan untuk penghormatan kepada Hasan & Mustofa bahwa hanya mereka berdualah yang pertama dan terakhir datang ke Pantai iti.
Mengetahui cerita ini akhirnya masyarakat setempat memutuskan untuk memecah Pantai ini dengan Pantai Mustika Pancer untuk mengenang apa yang dilakukan kedua pemuda itu (Hasan & Mustofa). Dan akhirnya wilayah pecahan ini diberi nama “Pantai Wedi Ireng”. Inilah salah satu alasan kenapa penduduk setempat tidak mengunjungi Pantai ini sekitar beberapa tahun yang lalu. Warga setempat merasa agak ketakutan jika harus menginjakan kaki di Pantai Wedi Ireng karena kejadian beberapa tahun silam.
Sekian cerita rakyat yang dapat penulis sampaikan. Ini hanya cerita rakyat setempat yang belum pasti kebenarannya. Karena kebenaran yang sesungguhnya hanya tuhan lah yang maha mengetahui. Tidak lupa penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya  jika dalam cerita ini terdapat perbedaan dengan cerita yang masyarakat dapatkan dari sumber lain. Penulis harapkan kedepannya tidak ada perdebatan yang besar dalam cerita yang telah dibuat. Sekian dari penulis dan diakhiri dengan ucapan terimaksih.