Sabtu, 08 November 2014

Asal-usul Petik Laut Pancer







Asal-usul Petik Laut Pancer
Samudera Indonesia menjadi ladang penghidupan bagi semua masyarakat di negara ini. Kususnya Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai.  Salah satu kota di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya mencari nafkah sebagai nelayan adalah kota Banyuwangi. Seperti Muncar, Pulau Merah, Puger, Pancer dll.
Dari sekian daerah pesisir di daerah Banyuwangi terdapat salah satu desa yang sangat terkenal dengan hasil lautnya, yaitu desa Pancer. Wilayah Pancer sendiri merupakan pelabuhan laut yang berfungsi sebagai pangkalan dari para nelayan dengan bukti keberadaan salah satu tempat penampungan ikan (TPI) yang cukup besar di Jawa Timur.
Desa Pancer yang sebagian besar masyarakatnya sebagai nelayan sangat terjamin dengan penghasilan yang mereka dapatkan dari hasil kekayaan lautnya. Tetapi keberhasilan itu tidak mudah mereka dapatkan seperti yang dibayangan masyarakat pada umumnya. Para nelayan harus berangkat pagi pulang sore bahkan harus tinggal dilaut selama beberapa hari jika hasil tangkapan kurang dari cukup untuk dibawa pulang. Tentunya juga, jika cuaca dan kondisi ombak bersahabat. Dalam perjalanan sejarahnya, desa Pancer memiliki fakta-fakta dan nilai-nilai historis yang mendorong perkembangan pada umumnya.
Pada zaman dahulu desa Pancer adalah salah satu desa dengan tingkat penghasilan yang paling rendah di Banyuwangi. Dengan sumber daya alam yang hanya satu-satunya di desa Pancer yaitu hasil laut.
Setiap pagi para penduduk desa Pancer yang kususnya laki-laki selalu memulai aktivitasnya dengan mencari ikan di laut. Sementara para perempuan dan ibu-ibu hanya sebagai pengangguran dan ibu rumah tangga. Setiap sore ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak selalu berdatangan pergi ke pantai untuk menunggu kepulangan para suaminya dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang banyak dan bisa dijual di TPI atau pasar.
Tetapi harapan dan angan-angan itu selalu tidak seperti yang dipikirkan para ibu rumah tangga. Setiap hari perasaan gelisah, resah, kawatir, dan sedih selalu terjadi disetiap kepulangan para suami dari melaut. Hasil tangkapan ikanpun tidak banyak. Jangankan untuk dijual dipasar, untuk lauk makan keluarga pun rasanya sangat jauh dari kata cukup. Padahal para warga yang melaut selalu berangkat dengan sangat pagi sampai sore menjelang magrib. Bahkan ada yang tidak pulang lebih dari satu minggu. Tetapi hasilnya pun sama nihil dengan lainya.
Melihat permasalahan ini salah satu warga yang sudah tua renta bernama Mbah Sutijo bercerita kepada semua warga desa pancer, bahwa dia pernah bermimpi yang aneh menurut dirinya. Dalam mimpinya dia bercerita bahwa beliau dihampiri oleh beberapa orang yang menggunakan kuda, berpakaian seperti zaman kerajaan dan terdengar alunan musik jawa.
Yang membuat Mbah Sutijo sedikit ketakutan adalah sosok seorang wanita berparas cantik yang menggunakan pakaian seperti putri kerajaan dan menaiki kereta kuda yang dihiasi emas yang sangat menakjubkan. Dengan disekililingi dayang-dayang perempuan yang tidak kalah cantiknya juga. Tetapi sorotan mata yang tajam kearahnya membuat Mbah Sutijo merasa sangat ketakutan.
Dalam mimpinya segerombolan rombongan permaisuri/ratu meminta sesaji atau persembahan setiap menjelang suro agar masyarakat desa pancer yang melaut bisa selamat dan mendapatkan ikan yang banyak. Dan persembahan itu untuk dibuang ke laut.
Mendengar crita ini salah satu tokoh masyarakat yang sekaligus sebagai pemimpin desa Pancer ini tidak percaya dengan cerita yang dibuat salah satu warganya tersebut. Melihat pemimpin desanya tidak percaya maka secara otomatis mayoritas masyarakatpun mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpinya/tokoh masyarakat desa.
Karena tidak ada warga yang percaya terhadap ceritanya maka Mbah Sutijo kembali memulai aktivitasnya sebagai warga. Tetapi semenjak kejadian itu Mbah Sutijo tidak berani untuk pergi maupun mendekati pantai.
Keesokan harinya petakapun datang. Pada hari itu badai sangat tidak bersahabat jika para nelayan berangkat melaut. Tetapi beberapa nelayan tidak menggubris hal itu dan tetap berangkat untuk melaut. Setelah sampai ditengah laut petakapun menghampiri mereka, gemuruh ombak yang besar menggulingkan dan menghancurkan semua sampan/kapal sekaligus isi-isinya.
Kejadian ini akhirnya membuat masyarakat desa Pancer mempercayai apa yang ada dalam mimpi Mbah Sutijo. Tidak mau melihat warganya terjebak dalam kesengsaraan ini akhirnya para tokoh masyarakat meminta pendapat kepada Mbah Sutijo tentang apa yang harus dilakukan agar masalah yang menimpa desa ini cepat terselesaikan.
Mbah Sutijo sebetulnya adalah para normal yang mempunyai kemampuan spiritual yang tinggi pada masa mudanya. Tetapi hanya sedikit dari banyak warga yang mengetahui latar belakang kehidupan Mbah Sutijo.
Mbah sutijo dalam suatu waktu tatkala melakukan tirakan mendapat wisik agar melakukan “Sedekah Pancer”. Tujuan diadakan “Sedekah Pancer” ini adalah untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan warga desa Pancer, terutama bagi nelayan yang melaut untuk menangkap ikan di Segoro Kidul.
Pasca Mbah Sutijo melakukan apa yang di minta seperti dalam mimpinya, kehidupan perekenomian masyarakat desa Pancer melonjak drastis dari sebelumnya. Hasil tangkapan para nelayan setiap harinya sangat memuaskan dan bisa untuk membangun beberapa fasilitas yang dibutuhkan desa Pancer. Akhirnya kegiatan ini selalu dikenang dan dilestarikan oleh masyarakat setiap tahunnya yang dinamakan Sedekah Pancer atau Larung Sesaji dengan Perayaan acara Petik Laut.
Tradisi dan budaya yang berkembang di Pancer tidak dapat dilepaskan dari kondisi alam yang didominasi lautan luas Samudera Indonesia. Tradisi dan budaya nelayan menjadi dominan dalam masyarakat Pancer.
Petik Laut atau ada yang menyebut dengan Larung Sesaji, salah satu tradisi tahunan yang ada di Pancer, merupakan bentuk pengaruh kondisi alam yang didominasi oleh Lautan. Petik Laut dapat dilihat sebagai interaksi kehidupan manusia dengan alam semesta yang menyediakan berbagai sumber kehidupan baik itu ikan-ikannya maupun sumber daya alam lainnya.
Ketokohan mbah Sutijo dan kepercayaan masyarakat Pancer bahwa mbah Sutijo merupakan orang linuwih (yang mempunyai kemampuan supranatural lebih dibandingkan lainnya) maka Sedekah Pancer dilakukan setiap menjelang suro atau satu tahun sekali dengan perayaan acara Petik Laut. Sedekah Pancer dilakukan dengan melarung sesaji ke laut sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Pancer karena karunia dari Sang Khalik telah diberi sumber daya alam yang kaya.
Sedekah Pancer menjadi acara tahunan setiap menjelan Bulan Suro atau Muharam. Sedekah Pancer ini kemudian menjadi dasar acara Petik Laut yang dilakukan pemerintah desa Pancer yang difasilitasi oleh pemerintah Banyuwangi setiap tahunanya dan menjadi tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat desa Pancer sampai sekarang.
Sekian cerita rakyat yang dapat penulis sampaikan. Ini hanya cerita rakyat setempat yang belum pasti kebenarannya. Karena kebenaran yang sesungguhnya hanya tuhan lah yang maha mengetahui. Tidak lupa penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya  jika dalam cerita ini terdapat perbedaan dengan cerita yang masyarakat dapatkan dari sumber lain. Penulis harapkan kedepannya tidak ada perdebatan yang besar dalam cerita yang telah dibuat. Sekian dari penulis dan diakhiri dengan ucapan terimaksih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar